LEMBAH KODRAT JILID 2 BAB 18

BAB 18
PENGASINGAN KANDAR
ilmu kanuragan dahsyat jurus ghaib daya kodrat
Terlihat Kandar sedang menyendiri dan melakukan Tapa Brata
Setelah surat ditinggal di bawah bantal, Kandar benar-benar pergi.Tanpa pamit. Tanpa salam.Dia hanya bawa tas kain lusuh, sehelai sarung, dan kitab tua yang mulai sobek di pinggirannya.Ia menuju kaki Gunung Anjasmoro.

Tempat sepi, tak berpenghuni.Hanya ada hutan pinus, kabut, dan suara langit yang kadang terdengar seperti bisikan arwah.Di sana,Kandar bertapa.Bukan dalam posisi yoga.Tapi sambil mencangkul tanah keras,membuat gubuk dari bambu, menanak nasi dengan kayu bakar."Aku tidak belajar jadi kuat...aku belajar untuk tidak membalas."

Sementara itu, kampung makin porak-poranda.Joyo makin besar.Iklannya masuk radio, spanduk di mana-mana:“ILMU KODRAT MODERN – BISA INSTAN, TAK PERLU PUASA!”Tapi... muridnya mulai tumbang.Beberapa kesurupan.Ada yang berhalusinasi.Ada yang kabur ke gunung sambil telanjang, mengaku “sudah tercerahkan.”

Joyo stress!!.Tapi gengsinya tinggi.Ia tetap siaran live di Tik Tok, berkata:“Ini bagian dari proses pembersihan energi!”Laras?Ia makin dekat dengan Joyo.Tapi hatinya mulai bimbang.Karena tiap malam, ia dengar suara aneh dari liontin pemberian Kandar..."Jika niatmu bengkok, semua pengetahuan berubah menjadi racun..."

Dan malam itu,saat bulan tepat di atas puncak gunung,Kandar terbangun dari semedinya.Bukan karena mimpi buruk,tapi karena bau dupa dari arah barat.Dia berdiri.Tangannya gemetar.Karena ia tahu, jurus terakhir... yang belum pernah diajarkan Ki Rajeh... sedang terpicu.

Makam Tua yang Bangkit Di kampung, terjadi keanehan.Makam Ki Rajeh yang dulu tertutup, tanahnya mengelupas sendiri.Di tengah malam, warga melihat sinar putih tipis keluar dari pusara.Dan dari dalam pusara itu...muncul gulungan kain dengan tulisan kuno:"Jurus Kedelapan: Menyatu Dengan Tanah."

Bukan untuk menyerang...bukan untuk bertahan...tapi untuk melebur.Ki Saka, yang sudah lama diam, akhirnya turun ke kampung.Ia buka surban, tatap warga: “Kalian semua sibuk jadi pemilik ilmu.Tapi lupa... bahwa ilmu ini milik tanah.Kalian cuma dititipi. Bukan diwarisi.”

Dan pada malam itu juga...Kandar berjalan kembali ke desa.Tidak dengan marah.Namundengan ketenangan seseorang yang telah kehilangan segalanya,dan itu tidak apa-apa."Aku datang bukan untuk mengambilnya kembali.Melainkan untuk mengembalikan apa yang bukan milikku..."

BAB 19
Duel Sunyi di Hutan Karangjati

Waktu itu sore.Langit kekuningan.Angin nggak kenceng, tapi menusuk kulit.Hutan Karangjati sepi,tapi suasananya berat kayak habis ngubur anak sendiri.Kandar datang dengan kaki telanjang.Sarungnya digulung.Di tangannya cuma ada kayu tua bukan senjata, cuma tongkat bekas penyangga dapur waktu kecil dulu.

Di sisi lain, Joyo berdiri gagah.Baju hitam, ikat kepala beludru,ditemani dua murid yang mukanya udah kayak patung, keras dan tanpa senyum.“Kamu ngapain ke sini, Ndra?”“Aku pulang. Tapi bukan buat rebut apa-apa. Cuma mau balikin yang bukan hakku.”

Joyo nyengir,namun matanya merah seperti terkena asap kompor.“Kamu pikir ini soal hak? Ini soal kekuasaan. Orang-orang butuh hasil, bukan dongeng.”Kandar mendekat. Langkahnya pelan.Kayak orang tua nyari sendal di bawah ranjang.“Ilmu itu bukan buat pamer. Tapi buat nyambungin yang putus,buat ngebenerin yang bengkok…bukan buat bikin kita ngerasa lebih dewa dari tetangga.”

Dan di situ… tanah bergetar.Pelan.Tapi makin lama, makin terasa.Burung pada kabur.Daun-daun kayak disedot angin.Langit tiba-tiba mendung."Jangan paksa jurus itu keluar, Jo... tubuhmu belum kuat."Aku lebih dari kuat!"

Joyo loncat.Tangannya ngepal, sorot matanya buas.Ia keluarkan Jurus Menusuk udara di depannya retak,terasa kayak angin dingin dipelintir jadi jarum.Kandar cuma minggir setapak,
lalu tepuk tangan satu kali...“Jurus Menarik.”

Dan tiba-tiba… serangan Joyo balik arah.Jatuh ke kakinya sendiri.Kaki kirinya goyah.Mata Joyo nanar.Pertarungan itu... bukan duel biasa.Bukan saling hantam.Tapi adu sabar, adu pengendalian diri, adu siapa yang hatinya lebih ringan.“Jo, kamu pinter… tapi kamu gak bahagia.”

Joyo terdiam.Murid-muridnya bengong.Mereka baru tahu...bahwa jurus-jurus itu, sebetulnya bukan untuk musuh di luar... tapi untuk mengalahkan yang di dalam.Dan tiba-tiba… tanah terbelah.Bukan kayak gempa.Tapi kayak ada yang "muncul" dari dalam bumi.

Gundukan tanah itu naik perlahan-lahan.Dari sanalah muncul sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran daun palem.Kandar dan Joyo sama-sama terpaku.Di atas peti itu, ada tulisan tua: “Jurus Kedelapan: Menyatu Bukan Menguasai.”

Kandar menoleh ke Joyo: “Kalau kamu pengin menang terus, kamu akan kehilangan semuanya.Tapi kalau kamu siap kalah… kamu akan ngerti makna hidup.”Dan di situ... Joyo jatuh bersimpuh.Air matanya keluar. Pertama kali, setelah bertahun-tahun jadi "guru besar"... ia merasa seperti murid kecil yang kangen ibunya.

Ki Saka, yang sejak tadi mengintai dari balik pohon, keluar.“Sudah selesai?"Belum," kata Kandar.“Lho?“Baru mulai... tapi sekarang kita mulai dengan yang benar.”Kampung mulai berubah.Warung Bu Wagini ramai lagi.Orang-orang ngobrol bukan buat gibah, tapi buat ngopi sambil mikir.

Dan tulisan di dinding masjid sekarang dibenerin: Dulu: “Ilmu Adalah Kekuatan”
Sekarang: 
“Ilmu Adalah Tanggung Jawab.”
BAB 20 
WASIAT DI ATAS ABU
Malam itu, api unggun menyala pelan.Kandar duduk bersila.Joyo di sampingnya, masih menunduk.Wajahnya bengkak, bukan karena luka... tapi karena menahan malu.Mbah Jireng datang pelan-pelan, bawa buntelan kain putih.Langkahnya kayak nggak nginjak tanah.

“Kalian pikir, semua udah selesai?” suara Mbah Jireng rendah, nyaris kayak gumaman angin malam.Kandar menoleh. Joyo nggak berani angkat kepala.Dari dalam buntelan itu, Mbah Jireng mengeluarkan segenggam abu.Lembut warnanya, tapi panas auranya.Diikat bersama secarik kain kusam dan gulungan lontar tua.

“Ini abu dari padepokan tua, tempat pertama kali ilmu Kodrat diturunkan,” ucap Mbah Jireng pelan.Ia letakkan di depan api unggun.Semua diam.Angin mendadak berubah arah.Asap mengepul ke langit, seolah menyampaikan pesan.Kandar membuka gulungan lontar.Tulisan tangan tua. Agak pudar, tapi masih terbaca.

"Jika suatu hari murid membelot, bukan karena dia jahat... tapi karena hatinya kehilangan arah. Maka jangan kau hukum tubuhnya... tapi pulihkan jiwanya."Joyo meneteskan air mata.Tangan kanannya menggenggam tanah.Hatinya remuk karena ternyata, dia bukan satu-satunya yang pernah hilang arah.

Tiba-tiba suara langkah mendekat dari belakang.Laras datang. Nafasnya ngos-ngosan.Di tangannya ada batok kelapa yang terbalut kain merah.“Desa sebelah... hancur, Mas. Mereka datang. Sudarwan dan orang-orangnya.”Semua mendadak tegak.Wajah Bejo pucat.Ki Saka, yang sejak tadi duduk diam di balik bayangan pohon beringin, akhirnya bersuara:

“Dia sudah memulai. Maka kita juga harus bersiap.”Kandar berdiri. Sarungnya masih dilipat setengah betis.Matanya tenang, tapi dalam.“Aku gak mau balas dendam. Tapi aku juga gak bisa diam waktu tanah ini diinjak-injak.”Ia melangkah. Tapi sebelum pergi, ia memungut abu dari tangan Mbah Jireng.Disimpannya dalam kantong kain kecil, bersama tongkat tua peninggalan ibunya.

“Kalau nanti aku gak pulang...” katanya sambil menoleh,“...biarlah yang tersisa bukan tubuhku, tapi jalan yang benar.”Laras menunduk.Joyo menegakkan badannya.Matanya tajam.
Tapi kali ini bukan karena dendam..melainkan karena dia sudah memilih berdiri di jalan yang selama ini dia tinggalkan.

Dan langit malam itu seperti membisikkan sesuatu…Suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang siap kehilangan demi kebenaran.

BAB 21
Langkah di Tanah Leluhur
Pagi belum benar-benar terang.Kabut masih menggantung di ujung sawah.Embun menempel di daun-daun jagung, seolah enggan meleleh.Kandar berjalan paling depan.Sarungnya masih sama. Tongkatnya masih tua. Tapi langkahnya… beda.Lebih dalam. Lebih tenang.

Di belakangnya, Joyo, Laras, Bejo, dan Ki Saka mengikuti.Mereka menyusuri jalan kecil berbatu, menuju Tanah Kadipaten.tempat leluhur pertama menancapkan ilmu kodrat dalam doa dan airmata.

“Tempat itu dulunya sunyi,” kata Ki Saka sambil menatap jauh.“Cuma doa dan burung hantu yang bersahut-sahutan. Tapi sekarang… suara mesin yang menggantikan.”Bejo yang biasanya cerewet, sekarang diam.Matanya terus memandang kanan kiri, seolah takut ada yang mengintai.

“Nanti kalau kita sampai sana… aku pengin pamit,” katanya pelan.“Mau nulis surat buat Ibu dulu.”Laras melirik.Bejo mengeluarkan kertas lusuh dan pulpen dari balik bajunya.Tangannya gemetar.Sementara itu, Joyo mulai bicara suara yang biasanya tegas, kini pelan seperti bisikan air.

“Aku dulu pernah datang ke Tanah Kadipaten. Tapi gak bisa masuk. Kayak ada dinding, tapi bukan batu. Kayak… dilarang oleh sesuatu yang lebih tua dari aku.”

“Bukan dilarang,” kata Kandar, “...cuma belum waktunya.”Mereka akhirnya tiba di tanah itu menjelang sore.Tapi pemandangannya bikin semua tercekat.Pohon tua yang dianggap sakral ditebang.Bekas tapak pusaka dijadikan lokasi tambang emas oleh anak buah Sudarwan.Tanah yang dulu basah oleh doa, sekarang kering oleh mesin dan buldoser.

Kandar mematung.Langit mendung.Di dekat bekas pohon, ada seorang lelaki tua duduk sendirian.Kulitnya legam. Matanya tajam. Tapi tubuhnya gemetar.“Mbah Sarmin…” Ki Saka berbisik.“...penjaga terakhir yang menolak diusir Sudarwan.”Mbah Sarmin hanya menunduk.Tangannya menggenggam segenggam tanah.

Lalu dengan suara serak, ia berkata:“Kalau kalian datang untuk bertarung, kalian akan kalah.”Tapi kalau datang untuk memulihkan… mungkin tanah ini masih mau bicara.”Kandar menunduk. Ia ambil segenggam tanah itu…dan menciuminya perlahan.“Bukan tanah ini yang butuh diselamatkan,” bisiknya,“...tapi manusia di atasnya.”

Dan sore itu, langkah demi langkah di Tanah Leluhur, bukan cuma gerakan tubuh..tapi juga langkah hati untuk menuju pertarungan terakhir bukan untuk menang, tapi untuk menemukan arah.

BAB 22
Benteng yang Runtuh
Langit gelap.Tapi bukan karena malam.Awan menumpuk seperti amarah yang dipendam terlalu lama.Di gerbang tambang, berdiri Sudarwan.Rambutnya dikuncir ke belakang.Pakai jubah hitam panjang. Di tangannya, tongkat logam yang ujungnya berdenyut seperti jantung.

“Jangan mendekat!” teriaknya.“Ini tanah milik pengorbanan! Bukan tempat main anak-anak murid gagal!”Kandar melangkah pelan.Dibelakangnya, Joyo menggenggam pedang kayu,Laras menggenggam liontin warisan, Bejo menyelipkan sebilah pisau kecil di pinggang.“Kami datang bukan buat rebut. Tapi buat ngembaliin yang selama ini kamu rampas,” ujar Kandar.

Sudarwan tertawa.Tapi tawanya getir, kayak orang yang tahu dirinya salah tapi terlalu dalam buat mundur.“Ilmu Kodrat seharusnya dipakai buat bangkit! Buat kuat! Bukan buat jadi pelengkap mimpi orang kampung!”

Dan tiba-tiba... tanah bergetar.Sudarwan menginjakkan tongkatnya ke tanah.Jurus Palung Dalam ilmu terlarang yang menyerap tenaga lawan, lalu memantulkannya balik.Kandar terpental beberapa langkah. Joyo menghalau, tapi ikut terdorong.Bejo maju sendiri.“Bejo, mundur!” Laras panik.

Tapi Bejo nggak mundur.Dia justru menghunus pisau kecilnya... lalu melemparkannya ke tanah.“Aku gak bisa bertarung... Tapi aku juga gak bisa diam waktu kalian dibantai.”Dan tiba-tiba... tanah retak.Dari bawah muncul cahaya merah.Tapi bukan karena Sudarwan.

Laras mengangkat liontin.Kilatan cahaya muncul, menyorot langsung ke langit.Langit terbelah. Bukan pecah, tapi seperti membuka jendela lama yang kelupaan dibuka.Sudarwan tertegun.Kandar berdiri lagi. Darah mengalir di pelipis, tapi matanya jernih.“Aku gak akan melawan kamu, Ndar.Karena kalau aku balas kamu,aku gak beda dari kamu.”

Lalu…dengan tangan kosong, Kandar berdiri di hadapan jurus paling kuat Sudarwan.Bukan untuk menangkis, tapi untuk membuka dada.Dan saat Jurus Palung Dalam dilepaskan..Kandar justru menyerap semuanya,lalu melepaskannya ke udara, tanpa balas.

Cahaya pusaka keluar dari tanah.Benteng tambang ambruk.Tanah gemetar, mesin-mesin pecah.Sudarwan... terduduk.Tubuhnya masih utuh, tapi jiwanya seperti dicabut.“Kenapa... kamu gak balas...?” suaranya serak.Kandar mendekat, jongkok, dan menyentuh tanah di antara mereka.

“Karena aku pernah jadi kamu. Dan aku tahu... kamu cuma butuh diingetin, bukan dikalahkan.”Langit pelan-pelan cerah.Awan membubung pergi.Burung-burung yang lama menghilang, kembali ke pohon.Dan untuk pertama kalinya…Sudarwan menangis.

✧✦✧