JARI PETIR LANGIT 3

BAB 12
PASIEN KE TIGA,LEWAT PESAN WHATSAPP
Luka yang Tak Pernah Disentuh
mampu mnegobati berbagai keluhan penyakit dengan ilmu jari petir langit
Dani Sedang Praktik mengobati Pasienya dengan "Jari Petir Langit"
Tiga hari setelah Bu Yati, nama Dani mulai beredar pelan di kampung.Bukan gegap gempita.Bukan sensasi.Tapi bisik-bisik ibu-ibu waktu belanja sayur,dan obrolan pelan para bapak di pos ronda sambil nyeruput kopi sachet.

“Itu lho, anak muda yang bisa ngurut pakai jari… katanya cuma disentuh, tapi langsung‘kena’.”Pagi itu, Dani duduk di halaman rumah.Tangannya memegang buku catatan bukan catatan pelajaran,tapi catatan rasa.

Ilmu ini bukan tentang tahu banyak. Tapi tentang merasa tepat.Dan rasa itu hanya bisa hidup kalau hatimu jernih.Pak Jarwo lewat di depan rumah.Naik sepeda ontel tua.Lalu berhenti.“Dan, kamu senggang? Bapakmu ada di rumah?”Ada, Pak. Tapi lagi ke belakang.“Kalau gitu kamu aja yang saya ajak. Ada tetangga, Pak Seno, kakinya kaku habis jatuh.

Mau diurut katanya, tapi takut tambah parah.Saya bilang aja kamu bisa bantu.”Dani menatap wajah Pak Jarwo.Ada sesuatu di matanya semacam harapan yang ditutup rapi oleh logika orang tua.Rumah Pak Seno kecil, tapi bersih.Istrinya menyambut ramah, meski wajahnya tampak lelah.

Di dalam kamar, Pak Seno terbaring.Kakinya tertekuk.Ada bekas luka lama.“Maaf ya, Mas Dani… saya ini bukan orang percaya urut-urutan.Tapi kata Pak Jarwo, kamu beda.”Dani tersenyum.“Saya juga gak suruh percaya, Pak. Tapi kalau panjenengan izinkan, saya bantu pelan-pelan.”

Seperti biasa, Dani duduk di lantai.Tangannya diletakkan di betis Pak Seno.Jari telunjuk dan ibu jari mulai digerakkan…pelan…lalu menyentuh titik tertentu.Sreet... sreet..!! Pak Seno menahan napas.Tiba-tiba…matanya berkaca-kaca.Bukan karena sakit.Tapi karena ada sesuatu yang muncul dari dalam.

“Mas… saya gak ngerti. Tapi barusan kayak ada ingatan yang muncul.Waktu saya kecil, jatuh dari sepeda…di tempat yang sama persis.Sejak saat itu kaki saya sering kesemutan…”Dani berhenti.Lalu menunduk.Tak semua rasa harus dijelaskan.Karena tubuh kadang lebih jujur dari pikiran.Sore itu, Dani pulang dengan langkah pelan.Di tangannya, ia bawa satu pelajaran baru:
Kadang, yang membuat kita sakit bukan sekadar luka luar.Tapi luka lama, yang tersimpan di saraf…dan tidak pernah disentuh.
Nah Mas…cerita ini makin masuk ke dalam ruang batin pembaca.Pelan, tapi menghunjam.Kakek kalau habis baca ini, biasanya cuma tarik napas,trus bilang pelan,“Ya Allah… jangan-jangan tubuhku ini masih nyimpan luka lama yang belum pernah disembuhin…”

BAB 13
Titik Terakhir di Ujung Jari

Satu minggu berlalu sejak pertemuan Dani dengan Pak Seno.Nama Dani tak hanya terdengar di warung dekat masjid atau pos ronda.Tapi mulai dibicarakan di tempat yang lebih pelan di dalam doa orang-orang yang tubuhnya perlahan membaik.

Dan entah kenapa…Dani justru makin sering duduk sendiri.Bukan karena sombong,tapi karena ia mulai sadar…"Semakin dalam kau menyentuh tubuh orang lain, semakin kau tersentuh oleh hidupmu sendiri."Malam itu, Dani bermimpi.Ia berjalan sendirian di tengah sawah.Langit mendung, angin lembut.

Dari kejauhan, seorang lelaki tua duduk di bawah pohon.Wajahnya samar, tapi suaranya sangat familiar."Dani… sampai di sini bukan akhir. Tapi awal.Kau baru menyentuh tubuh.Belum sepenuhnya menyentuh jiwa."

Dani terbangun.Keringat dingin.Tapi hatinya tenang.Ia tahu… itu Mbah Salim yang datang lewat mimpi.Seperti yang ditulis di modul terakhir: 
“Jika kamu sungguh-sungguh, maka nanti aku akan hadir. Tak usah dicari. Aku yang datang.”
Pagi harinya, Dani mendapat kabar : Ada seorang ibu, Ibu Wagini, yang terbaring sejak lama.
Bukan karena lumpuh. Tapi karena tak ada semangat untuk bangkit."Mas Dani, saya tahu ini bukan urusanmu. Tapi saya mohon… cobalah bantu dia. Badannya kuat, tapi hatinya yang tumbang."

Dani datang.Tanpa membawa apa-apa…kecuali dua jari dan satu niat.Ibu Wagini hanya diam.
Matanya kosong.Dani duduk di sampingnya.Tak langsung menyentuh.Hanya duduk.Hanya diam.Setelah beberapa menit, Dani bicara:

“Bu… saya gak tahu apa yang Ibu rasakan. Tapi saya percaya… tubuh Ibu sedang menunggu sentuhan yang tepat.Bukan dari luar… tapi dari dalam.”Dan pelan-pelan…Dani menyentuh pergelangan tangan Ibu Wagini.Lalu titik di antara leher dan bahu.Dan terakhir, titik di dada kiri.Tepat di atas jantung.

Sreet…!! Bukan sentuhan yang menyakitkan.Tapi sentuhan yang seperti membuka pintu rumah lama yang sudah lama ditutup.Ibu Wagini menangis.Bukan karena sakit.Tapi karena akhirnya…ia merasa disentuh bukan sebagai pasien,tapi sebagai manusia.

BAB 14
Di Titik Akhir,Dimulailah Langkah Baru
pengobatan bermacam penyakit dengan ilmu jari petir langit
Dani Mendapat Hadiah dari Para Pasienya
Hari terakhir dalam cerita ini bukan ditandai dengan kemegahan.Tidak ada baliho.Tidak ada plakat.Tidak ada seremoni.Yang ada hanya Dani, duduk di beranda,menatap halaman yang mulai ditumbuhi rumput liar.Tapi baginya… itu bukan semak.Itu adalah tanda kehidupan.

Ayah datang membawa kopi.Duduk di sampingnya.“Dan… kamu tahu nggak?Waktu kamu kecil, tanganmu lemah. Tapi sekarang…bukan karena jadi kuat, tapi karena kamu tahu harus menyentuh di mana.”Dani tertunduk.“Bapak bangga?”“Bapak tenang.”Pagi itu, Dani menutup buku catatan kecilnya.Ia menuliskan satu kalimat terakhir: 
“Ilmu ini tidak akan berhenti di aku.Karena tangan ini akan terus menyentuh…selama ada manusia yang butuh disentuh dengan niat baik.”
Dan di luar sana,di gang-gang kecil,di rumah-rumah yang tak punya ruang tunggu,nama Dani tetap dibisikkan pelan-pelan…“Itu lho… anak muda yang menyentuh bukan cuma tubuh.Tapi hidup…”

Selesai



✧✦✧