JARI PETIR LANGIT 2

BAB 6
PASIEN KE TIGA,LEWAT PESAN WHATSAPP
terapi pengobatan dengan ilmu jari petir langit mbah slaim
Dani sedang mengobati pasienya
Hari itu, hujan turun gerimis.Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi cukup untuk membuat orang malas keluar rumah.Dani duduk di ruang tamu, memegang HP, membuka-buka ulang chat dari seseorang yang tak dikenalnya.Namanya Bu Ratna.Profilnya hanya foto bunga melati.Pesannya sederhana:

“Mas Dani ya? Saya dikasih nomor ini dari grup kesehatan. Anak saya sering sakit punggung. Bisa dibantu?”

Dani membaca pesan itu tiga kali.Berusaha menenangkan detak jantung yang mendadak seperti habis lari pagi.Bukan karena takut, tapi ini pertama kalinya orang asing minta tolong.Dulu, ayahnya. Lalu adik sepupunya.Semua masih dalam lingkar rumah.Sekarang, orang luar.Pasien ketiga.Lewat pesan WA.Dani belum menjawab.Ia melirik modul dari Mbah Salim yang masih terbuka di meja.
“Ilmu ini akan menuntun sendiri ke siapa ia harus pergi. Kamu tak perlu pasang iklan. Kalau waktunya tiba, pasien akan datang. Kadang lewat mimpi, kadang lewat pesan WhatsApp.”
Dani tersenyum kecil.Ia ketik pelan:“Baik Bu. Tapi saya bukan tabib. Saya cuma murid yang baru belajar. Kalau Ibu berkenan, kita bisa coba pelan-pelan.”Jawaban dari Bu Ratna datang cepat,“Saya sudah coba banyak cara, Mas. Kalau ini bisa membantu, saya sangat berterima kasih.”

Sore itu, Dani bertemu Bu Ratna dan anaknya, di teras rumah mereka.Anaknya duduk diam.Laki-laki. Umur kira-kira 17 tahun. Wajahnya datar, seperti menyimpan beban yang tak bisa diceritakan.

Dani minta izin memegang punggung anak itu.Dan seperti yang diajarkan Mbah Salim,jari ibu dan telunjuknya dia rapatkan pelan,lalu disentuhkan ke area tulang belakang,tepat di garis tengah antara bahu.

“Sreet…!!”Hanya suara kecil.Tapi tubuh anak itu refleks mengangkat bahunya,“Aduh!”Ia berteriak.Matanya terbelalak.Wajahnya bingung.Bu Ratna kaget,“Lho, kamu kenapa,Nak?”Anaknya cuma geleng kepala,“Kayak kesetrum, Ma…”Dani hanya tersenyum.

Itu bukan karena kekuatannya.Itu karena titiknya pas.Meridian syaraf itu ibarat kabel listrik.Jika jari menyentuh jalur biasa, tak akan terjadi apa-apa.Tapi jika menyentuh jalur yang ‘hidup’,meski pelan… tubuh akan bereaksi.

Bukan gaib.Itu logika.Itu syaraf.Itu tubuh manusia.Yang dulu tak tersentuh,kini di bangunkan.Bu Ratna menatap Dani dengan mata yang berkaca.Baru kali ini, anaknya bisa tidur nyenyak malam harinya.Dani tidak bicara banyak saat pamit.Ia cuma menuliskan satu kalimat kecil di kertas dan memberikannya:
“Yang bisa menyembuhkan bukan saya. Saya cuma mengetuk pintunya. Yang membuka, ya tubuh sendiri.”
Di perjalanan pulang, Dani merasa sesuatu dalam dirinya mulai berubah.Bukan karena sudah berhasil mengobati tiga orang.Tapi karena satu hal…Kepercayaan itu menular.Saat satu orang percaya bahwa tangannya bisa membawa manfaat,semesta ikut membantu.Pasien datang bukan karena Dani hebat.Tapi karena Dani siap.

Dan sejak malam itu,HP Dani tak pernah benar-benar sepi.Bukan karena viral.Tapi karena ilmu yang benar, akan menemukan jalannya sendiri.

BAB 7
MODUL RAHASIA MBAH SALIM 
(Menyentuh tanpa menyakiti)

Pagi itu, Dani duduk di bawah pohon mangga belakang rumah.Udara belum panas, tapi langit sudah terang.Di pangkuannya, selembar kertas tebal…Berwarna kecokelatan, seperti kertas zaman dulu.

Itulah Modul 2 dari Mbah Salim.Dikirim lewat paket pos tiga hari sebelumnya, dibungkus kain putih, dililit tali rami.Tak ada tulisan berlebihan.Cuma judul kecil di pojok kiri:“Bagian Kedua: Sentuhan yang Mengetuk”.Mbah Salim tak pernah menulis seperti guru besar.Bahasanya sederhana.Seperti orang tua bicara pada anaknya di dapur.

“Nak Dani…Ilmu Jari Petir Langit bukan tentang kekuatan.Tapi tentang rasa.Kamu harus bisa membedakan, kapan tubuh butuh disentuh… dan kapan cukup dipandangi.”Sentuhanmu bukan sembarang sentuhan.Kalau tepat, pelan pun terasa menyengat.Tapi kalau salah, ditekan sekeras apa pun, cuma jadi pijat biasa.”

Dani mencoba memahami,membaca pelan-pelan seperti membaca surat dari almarhum ayah.Di halaman berikutnya, ada gambar kasar—seperti lukisan tangan.Terlihat dua titik utama di punggung manusia.Di situlah jari telunjuk dan ibu jari harus menyatu,seperti gerakan sederhana,tapi bila pas, tubuh bereaksi.

“Gerakanmu sederhana: seperti menyapu garis halus,pakai jari. Tapi kamu harus diam dulu dalam hatimu.Jangan gegabah. Jangan sok tahu.Rasa dulu. Baru gerak.”Dani menarik napas.Ia mengangguk pelan.

Matanya menatap ke langit, membayangkan wajah Mbah Salim yang belum pernah ia temui secara langsung.Hanya lewat suara.Hanya lewat kata-kata.Tapi kata-kata itu…seperti doa.Masuknya lembut, tapi bikin hati gemetar.

Siangnya, Dani coba praktik.Bukan ke orang.Tapi ke dirinya sendiri.Ia duduk bersila.Mengusap lehernya dengan dua jari, pelan,mengikuti titik-titik yang digambarkan Mbah Salim.

Dan benar…Ada satu titik yang begitu disentuh,tubuhnya seperti refleks menghindar.Seperti kesemutan, tapi dari dalam.“Jadi ini rasanya…” gumam Dani.Itu bukan sihir.Bukan mistis.Itu titik nyata, seperti tombol di tubuh.

Bila ditekan orang biasa, tak terjadi apa-apa.Tapi bila tahu ilmunya,sentuhan kecil saja bisa menembus syaraf.“Ilmu ini akan membuka pintu.Tapi yang masuk, bukan kamu.Yang masuk adalah kesadaran tubuh itu sendiri.Bahwa ia harus sembuh.”

Dan sejak hari itu, Dani sadar…Ia bukan lagi murid yang cuma belajar.Ia mulai merasakan.
Itulah bedanya orang tahu teori,dengan orang yang tubuhnya sudah merasakan sendiri.Dan pelan-pelan,jari itu tak sekadar jari.

Tapi menjadi sahabat baru yang tahu kapan harus menekan…dan kapan cukup diam,menunggu waktu.

 BAB 8
Asal-Usul Kedatangan Pak Jarwo

Sore itu hujan turun pelan,seperti suara ibu-ibu yang sedang mengaduk kopi sambil bergosip lirih di teras rumah.Dani sedang membaca ulang modul dari Mbah Salim.Bukan untuk belajar,
tapi lebih ke mengingatkan diri: bahwa ilmu ini bukan sulap,tapi amanah.Saat itulah pesan masuk dari WA.

"Assalamu’alaikum, Mas Dani… saya dikasih nomor ini sama adik saya, si Wahyu. Katanya Mas Dani bisa bantu ngatasi keluhan badan saya? Saya ini supir angkot, tapi udah seminggu tidur saya rusak. Kayak gak tidur."Jarwo, Kendal.

Dani sempat mikir sejenak.Wahyu?Oh iya… itu pasien ketiga yang pernah disembuhkan minggu lalu.Laki-laki muda yang sempat kesemutan separuh badan,ternyata saraf punggungnya ketarik waktu bantu dorong mobil mogok.Tanpa banyak tanya, Dani jawab singkat:

"Silakan datang Pak, rumah saya di ujung gang melati 3. Pagar biru. Insya Allah saya bantu sebisa saya."

Lanjut..
Sentuhan Pertama

Sore itu, hujan turun kecil.Tak deras, tapi cukup buat jalanan mengkilap,dan suara air yang jatuh dari genteng terdengar seperti bisikan lirih alam.Dani duduk di ruang tamu kecilnya.Di meja ada segelas kopi yang mulai dingin,dan selembar kertas catatan kecil dari modul Mbah Salim yang mulai lusuh karena sering disentuh.

Pikirannya masih penuh.Bukan karena rumus atau teknik,tapi karena pertanyaan paling mendasar:“Benarkah aku ini sudah siap menyentuh tubuh orang lain,
dengan ilmu yang dulu bahkan tak pernah aku tahu bisa nyata?”

Saat itulah ponselnya bergetar.Pesan masuk dari nomor tak dikenal."Assalamu’alaikum, Mas Dani. Saya dikasih nomor ini sama adik saya, Wahyu. Katanya Mas Dani bisa bantu? Badan saya ini, udah seminggu gak bisa enak tidur. Rasanya kayak ada yang nyangkut di punggung."

Dani baca pelan-pelan.Lalu ia mengangguk, seperti ada sesuatu yang menguat dalam dirinya.
Wahyu.Pasien ketiga minggu lalu.Laki-laki muda yang pegal-pegal sampai kesemutan,dan sembuh hanya dengan satu kali gesekan jari.

Dani balas:"InsyaAllah, Pak. Silakan datang, saya tinggal di ujung gang Melati 3, rumah pagar biru. Nanti kalau udah sampai kabari aja ya."Sekitar setengah jam kemudian,sebuah motor tua berhenti di depan rumah Dani.Suara knalpotnya bergetar seperti batuk.Dan seorang pria berkemeja tipis, wajahnya letih tapi ramah,turun sambil memegangi pinggangnya.

"Mas Dani?""Iya, Pak Jarwo ya? Monggo masuk."Dani persilakan masuk,dan seperti biasa, sebelum tangan bergerak,dia memilih menyentuh rasa dulu."Pak, kalau boleh tahu, keluhannya seperti apa?"

"Saya ini nyupir angkot, Mas. Tiap hari muter Situbondo. Tapi seminggu ini tidur saya gak nyenyak. Badan kayak gak pernah istirahat. Kadang kayak kesemutan di belakang, kadang kaya ditusuk. Udah pijat juga, gak mempan."

Dani mengangguk, tidak langsung menyentuh.Ia tahu, ilmu ini bukan sulap.Bukan sembarang sentuh,tapi menemukan titik saraf yang tersembunyi, lalu mengaktifkan logika tubuhnya sendiri.Dani mengeluarkan minyak biasa.Bukan minyak mistis.Tidak beraroma aneh.Cuma minyak gosok biasa, tapi…cara pakainya yang luar biasa!.

"Pak, saya coba ya. Ini bukan urut, bukan pijat. Tapi mungkin terasa sakit di titik tertentu.Jangan ditahan. Kalau mau teriak, teriak aja."Pak Jarwo mengangguk.Baru saja Dani menyentuhkan ibu jari ke ruas belakang bawah leher…dan sreettt…! ia gesekkan sedikit ke arah saraf punggung.

"Aaaah! Ya Allah! Sakit bener Mas!!"Pak Jarwo refleks melonjak.Matanya membelalak.Dani tersenyum tipis."Nah, itu titiknya, Pak. Kalau bukan di situ, gak akan terasa apa-apa."Ia ulangi sekali lagi.Sentuhan ibu jari dan telunjuknya seperti mencolek saklar listrik kecil di dalam tubuh Pak Jarwo.

Dan tiap kali digesek pelan,reaksi tubuh seperti terkejut sendiri.Sarafnya bangun.Ototnya seperti sadar."Gimana bisa, Mas? Tadi cuma diusap. Tapi kok rasanya kayak dipukul besi panas..."Dani diam sejenak,lalu menjawab pelan:

"Ilmu ini bukan sihir, Pak. Bukan tenaga dalam.Cuma ilmu untuk memahami tubuh kita sendiri.Dan saat jari kita tahu titiknya...tubuh yang sakit akan menjawab sendiri."Setelah sesi selesai,Pak Jarwo bangkit perlahan.

"MasyaAllah… rasanya plong. Kayak abis ditarik sesuatu dari dalam. Tapi ini ilmu apa sih sebenernya, Mas?"Dani cuma tersenyum."Namanya Ilmu Jari Petir Langit. Tapi bukan langit yang di atas, Pak…Langit yang dimaksud… adalah tubuh kita sendiri."

BAB 9
Ruh yang Terbangun

Malam datang pelan-pelan.Langit gelap, tapi tak sepenuhnya kelam.Masih ada bias lampu jalan yang membias dari jendela kecil di ruang tengah.Dani duduk di atas sajadah, setelah selesai salat isya.Namun kali ini bukan soal rukuk dan sujud yang membekas di hatinya,
melainkan sentuhan tadi sore yang terasa lebih dalam dari sekadar menyembuhkan.

Wajah Pak Jarwo yang kaget…Matanya yang memerah karena rasa sakit bercampur takjub Teriakannya yang seperti dibangunkan dari tidur panjang…Semua itu membuat Dani merenung."Ternyata, ilmu ini... bukan cuma soal menyentuh tubuh. Tapi menyentuh rasa orang lain. Menyentuh jiwa yang selama ini tertutup rapat oleh lelahnya hidup."

Di sudut meja, kertas modul dari Mbah Salim masih terbuka.Di halaman keempat belas, ada tulisan tangan:
“Jari yang tahu titik, akan lebih tajam dari jarum.Tapi jari yang membawa niat... akan lebih lembut dari pelukan ibu.”
Dani menatap tulisan itu lama.Entah kenapa, kalimat itu terasa hidup malam ini.Seolah bukan hanya kata-kata, tapi pesan langsung dari alam.Keesokan harinya, suara motor kembali berhenti di depan rumahnya.Bukan Pak Jarwo kali ini.Melainkan seorang perempuan paruh baya, memakai kerudung sederhana,dan menenteng tas belanja berisi jeruk serta air mineral.

"Mas Dani ya? Saya Ibu Jarwo. Suami saya cerita tadi malam. Katanya badan dia enteng. Bisa tidur tanpa kebangun.Dia bilang... Mas Dani itu bukan cuma bisa ngobatin. Tapi Mas bisa nyentuh yang gak kelihatan."

Dani terdiam.Kalimat itu... menohok."Nyentuh yang gak kelihatan?""Iya, Mas. Hati suami saya itu keras. Orangnya gengsian. Tapi kemarin malam, pas dia cerita ke saya, matanya merah.Dia bilang, 'Bu… kayak ada tangan yang nyabut capek dari dalam dada saya."Saya pikir Mas Dani cuma ngurut, ternyata... bisa bikin orang ngerasa dilonggarin hidupnya."

Dani merendahkan pandangan.Ia merasa kecil.Karena yang dia lakukan... tak lebih dari menyentuh dengan ibu jari dan telunjuk,pada titik yang diajarkan Mbah Salim lewat modul.Tapi ternyata... efeknya menyusup ke dalam."Bu, saya ini bukan tabib. Saya juga masih belajar.Yang saya tahu, tubuh manusia itu kayak peta.Dan jari kita, cuma kayak kompas.Kalau kompasnya jujur, dia bakal nemuin jalannya sendiri."

Bu Jarwo tersenyum.Tersenyum seperti ibu-ibu desa yang tahu kapan harus ngomong, kapan cukup manggut."Kalau gitu, Mas... saya titip pesan.Tolong jangan berhenti. Banyak orang di luar sana yang sakit,tapi gak tahu kalau yang mereka butuhin... bukan obat, tapi disentuh dengan rasa."

Setelah Bu Jarwo pulang, Dani duduk lama di teras.Hujan rintik turun lagi.Angin membawa aroma tanah yang basah.Dan di dalam dadanya, ada perasaan asing:damai.

Bukan karena pujian.Bukan karena jadi terkenal.Tapi karena untuk pertama kalinya,ia merasa berguna.Dan itu...lebih menyembuhkan dirinya sendiridaripada siapa pun yang pernah dia sentuh.

BAB 10
Petir Tak Perlu Menggelegar

Hari itu cerah, tapi bukan cerah yang biasa.Langit memang biru, tapi hati Dani seperti lebih terang.Ada sesuatu yang menyala dari dalam, walau ia tak tahu namanya apa.Ia buka kembali modul dari Mbah Salim.Dibacanya perlahan, seperti membaca surat dari orang tua yang lama tak bersua.Di halaman ketujuh belas, ada bagian yang kemarin belum ia pahami, tapi sekarang mulai terasa arti di baliknya:
“Ilmu Jari Petir Langit itu bukan sulap.Tapi ilmu rasa.Saat jari menyentuh titik saraf, tubuh boleh menjerit,tapi jika niatmu salah, jiwanya takkan berubah.”
Dani merenung.Beberapa hari lalu, ia hanya menekan titik tertentu di bahu Pak Jarwo,dengan dorongan ringan… sangat ringan.Namun suara teriakan Pak Jarwo waktu itu seperti petir menyambar malam.“Aduh! Astaghfirullah! Itu jari apaan, Dan? Kok bisa langsung ke dalam banget!”

Waktu itu Dani kaget.Padahal dia hanya meniru gerakan dari video panduan di modul: ibu jari dan telunjuk digesek ke titik saraf seperti menyayat angin,dengan gerakan sreet-sreet, mirip membuka kain yang menempel di luka.Tapi reaksi tubuh Pak Jarwo sangat nyata.Bukan lebay. Bukan sugesti.

Dan yang lebih mengherankan lagi Pak Jarwo yang biasanya keras kepala soal sakit pinggang,hari itu malah bisa bangkit dan tertawa sambil bilang: “Ini namanya ilmu apaan, Dan? Petir ya? Petir beneran!” Dani hanya menjawab pelan,“Bukan petirnya yang menyambar, Pak… mungkin titiknya yang memang pas.”

Hari ini, Dani ingin mencoba lagi.Bukan untuk main-main. Tapi untuk memahami lebih dalam.Korban selanjutnya? Bukan pasien.Tapi ayahnya sendiri.

Pak Haris,ayah Dani selama ini diam-diam sering mengeluh lututnya nyeri,tapi tak pernah mau ke tukang urut, apalagi ke puskesmas.Orang tua zaman dulu, lebih percaya tidur semalam bisa menyembuhkan segalanya.“Pak, boleh saya coba pijat pakai teknik baru? "Ayahnya menatap ragu.“Gak usah aneh-aneh, Dan. Udah biasa Bapak kayak gini.”

“Gak akan sakit, Pak. Malah, kalo pas titiknya, Bapak bisa kaget.“Halah, nyoba aja lah... asal jangan bikin Bapak tambah pincang.”Dani tersenyum.Ia mulai menekan pelan sisi dalam lutut ayahnya dengan ibu jari.Gerakannya pelan, tapi mantap.Tak ada tekanan keras, tak ada urut sampai merah.

Hanya sentuhan.Yang terasa menusuk…Seperti seutas jarum yang menembus tanpa luka.“Astagfirullah…! Lho, Dan! Itu jari apa?!”Ayahnya langsung mencengkeram lengan Dani.Tapi ekspresinya bukan marah.Lebih ke… heran.“Kok bisa ya... kayak ada yang nembus ke dalam, tapi gak sakit kayak dijepit. Tapi dalem banget.”

Dani tak menjawab. Ia hanya mengangguk.Ia tahu—titik itu, namanya titik hidup.Saat kena… bukan cuma tubuh yang bereaksi. Tapi juga batin.Malamnya, Dani mencatat semua itu di buku kecilnya.Ia tulis seperti catatan harian:
“Hari ini aku tahu, bahwa sentuhan itu bukan soal tenaga.
Tapi soal ‘kena’.
Bukan semua orang bisa bikin orang lain berteriak pakai jari.Tapi jika kita tahu titiknya, tahu rasa, tahu niat…Maka jari kita bisa lebih tajam dari pisau,tapi juga bisa lebih lembut dari embun.”Dani menutup buku itu.Ia tahu—ilmu ini nyata.Dan ia mulai percaya, bahwa jari manusia bisa jadi alat penyembuhan…asal digunakan dengan hati yang lurus.

BAB 11 
Saraf yang Menyimpan Kenangan

Malam itu, rumah Dani sepi.Ibu sudah tertidur.Ayah duduk di kursi rotan sambil menyender, memejamkan mata.Tapi Dani tahu… ayah belum tidur.Napasnya belum tenang.“Pak… besok saya mau coba ngurut tetangga ya, Bu Yati itu. Katanya kakinya kesemutan terus.”

Ayahnya membuka mata, menatap.“Kamu yakin, Dan? Ilmu kamu belum genap lho.“Saya gak menyembuhkan, Pak. Cuma bantu sentuh titiknya.Biar aliran tubuhnya ketemu jalan pulang…”

Pak Haris diam.Lalu angguk kecil.Seperti ayah yang mulai percaya, tapi belum mau mengaku sepenuhnya.Esoknya, Dani datang ke rumah Bu Yati.Sebuah rumah papan sederhana, penuh aroma kayu lama dan tembakau yang tersimpan di pojok lemari.

Bu Yati duduk di dipan, kakinya diluruskan.Wajahnya ramah, tapi ada gurat waswas.“Mas Dani beneran bisa nyembuhin?“Saya gak nyembuhin, Bu… cuma bantu tubuh panjenengan menemukan jalan yang nyangkut.”

“Lho… maksudnya?”Dani tersenyum.“Kadang tubuh kita itu kayak selokan.Kalau mampet, air gak ngalir. Padahal bukan airnya yang salah, tapi ada sampah nyangkut.Nah… saya cuma bantu cabut ‘sampah’-nya. Tapi bukan dengan tenaga, Bu.Tapi rasa.”

Tangannya mulai bergerak.Ibu jari dan telunjuknya bertemu, lalu digesekkan pelan di betis Bu Yati.Bukan seperti pijatan biasa.Tapi seperti ada arus listrik kecil… mengalir lewat ujung jari.

Sreet… Sreet…!! Bu Yati mendesah. Lalu terkejut.“Masya Allah… ini kok kayak kesentak listrik ya, Mas?! Tapi enak…Ada yang keluar dari betis saya… kayak hawa panas.”Dani tidak menjelaskan panjang lebar.Ia tahu, itu bukan soal sugesti.Tapi titik saraf meridian, yang tersentuh pas.Ilmu dari Mbah Salim mengajarkan:
“Tubuh manusia menyimpan kenangan dalam saraf.
Saat saraf disentuh dengan ilmu, bukan cuma tubuh yang bereaksi…
Tapi juga rasa, dan mungkin masa lalu.”
Dani menyelesaikan pengobatan itu dalam 15 menit.Tak ada alat, tak ada obat.Hanya tangan Dan ilmu.Sebelum pulang, Bu Yati memegang tangan Dani.“Mas Dani… saya gak ngerti ini ilmu apa. Tapi badan saya rasanya enteng.Terima kasih ya, Mas. Ini… bukan urut biasa.”

Dani hanya tersenyum.Di dalam hati, ia tahu…Ilmu ini bukan untuk pamer.Tapi untuk mengetuk.Bukan menyembuhkan sepenuhnya, tapi membantu tubuh mengingat caranya sembuh sendiri.Malamnya, Dani menulis lagi di bukunya:

“Saraf itu bukan cuma jalan sinyal.Tapi jalan kenangan.Kalau kita tahu cara menyentuhnya,maka bukan hanya rasa sakit yang keluar…Tapi juga rasa yang lama tersembunyi.”



✧✦✧